Erkin Azat
4 min readJun 8, 2019

Sebuah Surat dari Seorang Sipir di Kamp Konsentrasi di Dawanching(My article in Indonesian language).

Surat yang asli dalam Bahasa Cina telah dipublis secara online oleh Erkin Azat pada 12 May 2019. Surat ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Torchlight Uyghur Grup, dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh ...

http://blog.freedomsherald.org/?p=2186

Namaku Berik, saya seorang sipir penjara di sebuah konsentrasi kamp yang baru didirikan, terletak di Dawaching (Distrik Dabacheng, China)

Dahulu, aku seorang kamerawan, seringkali mengabadikan upacara pernikahan dan lain-lain, namun bidang usaha itu mulai memudar pada tahun 2016. Lalu, di tahun 2017, mendaftarkan diri di Asosiasi Kepolisian menjadi suatu hal yang populer di sini. Ibuku turut mengusulkan ide itu padaku, mengingat gaji yang selama ini mereka iklankan cukup menjanjikan.

Sesaat setelah aku bergabung di Asosiasi Kepolisian, aku menyesali bidang yang kupilih. Tak ada hari cuti, dan upah kami seringkali dipotong, bahkan ditahan hingga berbulan-bulan. Sedangkan pekerjaan yang 24 jam tanpa henti ini memperburuk kesehatan tubuhku, dan membuatku semakin sulit untuk tidur.

Di pertengahan 2018, aku dipindah-tugaskan menuju kamp konsentrasi yang terletak di Dawanching. Berkat pengalamanku dengan kamera, aku ditugaskan di ruangan kontrol kamera pengawas. Meski bekerja di ruangan kontrol, seluruh aktivitas kami juga diawasi oleh kamera-kamera yang tersembunyi.

Kami "tidak diperkenankan untuk meninggalkan pos, tidak diperkenankan untuk tidur, tidak diperkenankan untuk beranjak." Kami dituntut untuk selalu fokus pada semua kejadian yang ada pada monitor. Jika ada kesalahan yang disebabkan kelengahan kami, akan ada sanksi untuk itu. Sanksi paling ringan adalah upah sebulan kami dipotong, atau yang lebih berat, kami akan mendapatkan "didikan ulang."

Maka, bagi kami sama saja, di ruang kontrol dan di penjara, tak ada bedanya.

Berikut adalah rutinitas harian para tahanan di Kamp Konsentrasi Dawaching:

5:00 Bangun dan lari pagi di lapangan

7:00 Sarapan

8:00 - 12:00 Kelas Pendidikan Cina, Kajian Politik, Kajian Perundang-Undangan.

12:00 - 14:00 Makan siang dan rehat

14:00 - 18:00 Melanjutkan kembali kajian

19:00 Makan malam

20:00 - 22:00 Belajar mandiri

23:00 Bersih-bersih asrama dan tidur

Kamera pengawas tidak mampu meliputi semua sudut-sudut ruangan, dan terdapat area-area tak terlihat. Kami memperingatkan para tahanan tentang itu, namun segelintir dari mereka seringkali diam-diam pergi menuju area-area itu untuk merokok.

Banyak rokok yang diselundupkan menuju kamp. Tahanan yang tertangkap merokok akan diberi sanksi keras. Awalnya, manajemen kamp sangat ketat terhadap persoalan ini, namun agak melonggar seiring berjalannya waktu.

Bahkan, ada bilik khusus dimana para tahanan bertemu dengan pasangannya di sela-sela waktu rehat untuk melakukan aktivitas yang bersifat "privasi". Suatu hari di musim dingin, seorang tahanan dikurung di sel terpencil selama 24 jam setelah dia bertemu dengan istrinya di ruangan ini. Kejadian ini membuat hak untuk bertemu istrinya dicabut selama-lamanya. Kamera pengawas merekam semua kejadian yang terjadi di dalam bilik ini: Istrinya memakai dua lapis celana musim dingin, dia memberikan satu celana agar dipakai oleh suaminya.
Si tahanan tidak tahu bahwa kamera pengawas merekam aktivitas mereka. Tidak lama setelahnya, rekan kerjaku yang sedang mendapat sif di hari itu memperoleh bonus upah karena berhasil menemukan sebuah "pelanggaran".

Suatu hari, setelah kamp konsentrasi ini diperluas, lebih dari tiga ribu gadis-gadis sekolah tinggi dialihkan menuju kamp. Mereka semua berkisar 18 tahun. Salah satu gadis yang berdiri di barisan depan dengan lirih berkata padaku, "Saudaraku, kau boleh melakukan apapun dengan tubuhku, asalkan kau berkenan menyelamatkanku dari tempat ini." Aku tak kuasa menatap matanya, dan kata-kata itu selalu menghantuiku sejak itu.

Terkadang, para perwira datang mengunjungi ruang kontrol untuk "meninjau" pekerjaan kami. Mereka menyuruh kami untuk men-zoom-in kamera pada wajah gadis-gadis, lalu dengan jenaka memintaku memilih

kan yang tercantik untuknya, namun dengan sopan aku menolak untuk melakukannya.

Setelah memilih seorang gadis yang cocok, mereka menyuruh para staf bawahan untuk membawa gadis itu menuju "kantor" untuk "berbincang". "Kantor" adalah kode untuk dapur tempat para pegawai makan dan minum. Karena tak ada kamera pengawas di sana, dan "perbincangan" biasanya terjadi di siang hari, bukan malam, semua orang tahu apa yang akan terjadi pada gadis yang dibawa ke "kantor". Kadangkala, jika si perwira ini sedang teler, dia akan mengizinkan para staf bawahan untuk memperkosa gadis ini setelahnya. Setelah mereka puas, gadis ini akan dikembalikan ke selnya. Sang gadis takkan berbicara sedikit pun, namun aku bisa melihat air matanya dari kamera.

Di dalam sel, mereka tak diizinkan untuk menangis, berbicara, bahkan untuk sekedar menumpahkan emosi. Disebabkan pengekangan ini, emosi mereka terpendam dan terkadang meledak dengan cara yang mengerikan.

Peralatan makan di sini terbuat dari plastik, untuk mencegah kemungkinan menyakiti diri. Namun suatu hari, seorang tahanan sudah benar-benar muak, dia berhasil membuat peralatan makan berkeping-keping, dia berusaha untuk memotong lambungnya menggunakan kepingan tajam, namun gagal, lalu dikirim menuju rumah sakit jiwa.

Kejadian lain, dua orang tahanan tertangkap berkelahi di dalam sel. Mereka memanfaatkan area tak terlihat, namun lengan mereka tertangkap kamera. Lalu, mereka berdua diberi sanksi dengan "Bangku Harimau", dipaksa duduk di atasnya selama 48 jam, tanpa makan dan minum, bahkan terpaksa untuk buang air kecil di saat duduk.

Di Kamp Dawanching ini, tahanan paruh baya disuntik secara rutin tiap bulan, sedangkan tahanan lansia hanya disuntik saat pertama kali memasuki kamp. Suntikan ini dipercayai untuk mencegah virus influenza.

Sebagai sipir, kami juga dituntut untuk menghafal doktrin-doktrin politik dan perundang-undangan, serta tugas-tugas rutin yang lain. Akan sangat bahaya jika pekerjaan kami tidak memuaskan. Suatu hari, aku kedatangan tamu di rumah, mungkin karena suara kami terlalu keras, seorang kakek tua keturunan ras Han yang tinggal di lantai bawah menelpon polisi dan mengancam kami untuk dimasukkan ke Kamp Dawanching agar diberi "pelajaran".

Untungnya, aku juga seorang polisi yang sedang aktif bertugas, dan petugas polisi yang datang adalah orang yang mengenalku. Pada akhirnya, kami bisa berunding dengan kakek tua itu, lalu menandatangani sebuah jaminan untuknya. Jika saja aku hanya rakyat biasa, aku pasti sudah dikirim menuju kamp konsentrasi hanya karena alasan "bising."

Erkin Azat

Erkin Azat
Erkin Azat

No responses yet